Halaman

Ads 468x60px

Minggu, 02 Januari 2011

MITOS

Aku menelusuri hutan, berusaha mencari kera menyusui bayinya yang masih merah, masih ku ingat lekat kata pak Parto, sesepuh desaku yang telah berumur 100 tahun, katanya, “Siapa yang bisa melihat induk kera menyusui anaknya yang masih merah, ia akan menjadi kaya-raya,” kata-kata itulah yang selalu tengiang-ngiang di kepalaku dan memaksaku melangkahkan kaki menuju hutan yang terletak diujung desa tempat tinggalku. Berusaha mencari kera itu dan berusaha menjadi kaya dengan cepat. Tapi, sudah 6 jam aku menelusuri hutan, belum juga ku temukan apa yang ku cari. Ah, aku tidak boleh putus asa, bukankah aku harus membantu Ayah dan Ibu, lagi pula aku harus melanjutkan sekolah? Jadi, aku harus menemukan kera itu. Ingat dengan cita-cita ku, aku tak jadi pulang dan terus menyusuri hutan.
Aku berusaha terus berajalan di tempat yang lembab dan gelap ini, tak mengalihkan pandnaganku dari atas pohon, berharap sesuatu yang menggelantung dapat mempersingkat pencarianku. Sesekali aku tersandung, dan lenganku perih akibat tergores ranting dan duri. Entah karena lelah atau gelisah, aku melihat sesuatu bergerak di depanku, hewan berbelang kuning dan hitam, wajanya seperti kucing, tapi barang kali sepuluh kali lebih besar dari loreng, kucing peliharaanku di rumah. Ia menggeram, aku menggigil, sorot matanya tajam seperti senter, memutar lehernya ke kanan dan ke kiri, tiba-tiba tatapannya tajam mengarah tepat pada mataku. Gigiku saling beradu, ia menggeram lagi, aku mundur perlahan tapi mataku terus mengawasinya, hewan itu maju kearahku seirama dengan langkah kakiku yang mundur satu-satu. Duk, kaki tersandung, tubuhku menyatu dengan bumi, hewan itu tak peduli, terus maju mendekat. Aku menahan nafas, kepala hewan itu telah mencium wajahku, kemudian leher, perut dan kakiku. Ia menggeram sebentar. Lalu dengan langkah teratur ia pergi meninggalkanku yang bersimbah keringat. Aku menarik nafas sepanjang yang ku mampu, udara memenuhi paru-paru dan perlahan menenangkan jantungku yang berpacu mendahului irama detik. Beribu syukur ku panjatkan dengan kepergian mahluk belang tadi. Hewan berekor panjang yang bergelantungan di pohon-pohon menatapku dengan iba, tapi tak satupun kulihat di antara mereka yang sedang menyusui bayi merahnya. Aku bangkit dari bumi, binatang belang membuat nyaliku hilang, aku pulang dengan ketakutan dan kekecewaan, gagal menjadi kaya.
***
Sudah jam 19.30, segera ku menuju rumah pak Parto, benar seperti dugaanku pak Parto telah dikerubungi anak-anak seumurku untuk mendengar ceritanya. Aku segera bergabung dengan mereka.
“baiklah anak-anak,..” pak Narto memulai ceritanya. Kursi goyang yang didudukinya berderit-derit.
“pada tahun 1940an, seorang pemuda berjalan menyusuri hutan. Ia percaya pada sebuah mitos” lagi-lagi pak Parto berbicara masalah mitos dan lagi-lagi aku begitu tertarik dengan cerita tentang mitos.
“pemuda itu berusaha melihat kaki ular…., ternyata ular punya kaki…! Nah, anak-anak, kenapa pemuda itu ingin melihat kaki ular?” pak Parto bertanya untuk melihat sejauh mana kami tertarik dengan ceritanya, beberapa anak mengacungkan jari telunjuknya, termasuk aku, berebut ingin menjawab. Pak Parto tersnyum senang, karena sepertinya ceritanya menarik dan diminati. Tapi pak Parto, tak perlu mendengar jawaban kami, ia melanjutkan ceritanya
“Dulu sebelum menjadi pengembara, pemuda itu pernah melamar seorang putri bangsawan yang kaya raya, namun karena pemuda itu miskin dan papa, ia ditolak mentah-mentah, namun melihat tekad pemuda itu, ayahanda putri angsawan tersebut memberikan kelongaran dengan syarat yang mustahil dipenuhi oleh pemuda miskin tadi, dalam waktu satu bulan, pemuda itu harus mampu membuat rumah mewah dan mempunyai banyak emas…” pak Parto menarik nafas, ia terlalu bersemangat dengan ceritanya, sehingga tak memikirkan lagi nafas tua nya yang tidak teratur dan berat.
“anak-anak, pada hari itu juga pemuda tersebut mengembara dan sebelumnya berjanji bahwa ia akan memenuhi persyaratan tersebut dalam waktu satu bulan.” Pak Parto ngos-ngosan.
“apa yang tejadi selanjutnya??” pak Parto menatap kami, hening sejenak menyelimuti.
“sebulan kemudian, pemuda pengembara itu datang untuk melamar putri bangsawan dengan segala persyaratan yang telah ditentukan”. Pak Parto mengakhiri cerita, bergegas masuk ke dalam rumahnya. Dan kami? Kami anak-anak yang berusia 11 tahun pulang dengan khayalan masing-masing. Aku bertekad akan mencari ular dan melihat kakinya. Kali ini aku pasti menemukannya. Kejadian saat bertemu belang di hutan kemarin tak berbekas lagi diingatanku.***
“Aku kaya…!!!” aku berteriak sekeras-kerasnya, ku bagi-bagikan uang yang kupunya pada ayah, ibu dan teman-temanku. Aku akan sekolah. Aku ingin menjadi pilot, aku ingin keliling dunia. Aku beritahu impianku ini pada ayah dan ibu, teman-teman dan bahkan pada seluruh penghuni desaku, termasuk termasuk tikus yang menggerogoti lumbung padiku dan cacing-cacing yang yang hidup di dalam tanah. Sungguh aku sulit menggambarkan rasa bahagiaku saat ini. Kurasakan mataku berbinar, semua yang iri melihat keberhasilanku. Sebentar lagi semua keinginan ku akan menjadi nyata.
Tapi, mengapa orang-orang menolak uangku? Mereka memandang iba diriku. Tidak tahukah dia betapa aku bahagia?memberi dengan ikhlas? Tanpa pamrih, aku tidak sedang mencalonkan diri menjadi kades atau bupati, jadi aku tidak sedang kampanye, aku masih kecil, aku juga tidak bercita-cita menjadi kades, bupati, gubernut atau presiden, aku tidak ingin dipilih karena hartaku melimpah. Lagian, aku ingin menjadi pilot. Jadi, aku benar-benar member dengan ikhlas. Ya ampiun, apa-apan ini, kenapa sekarnag aku diikat di tiang tengah rumahku, kemarin memang aku marah pada sekolah yang tidak mau menerima ku sebagai siswanya, mereka katakan uang yang ku berikan untuk daftar sekolah adalah daun, aku lalu mengamuk dan dan memecahkan beberapa kaca jendela sekolah, dan sekarang aku diikat dengan erat, aku tak mampu berbuat apa-apa.
“Ayah… Ibu… tolong lepaskan aku”, rengekku dengan melas. “aku sudah kaya, aku mau sekolah…aku janji tidak akan pecahkan jendela sekolah…” aku meronta.
“aku janji akan belajar dengan sungguh-sungguh”.
Ibu ku malah menangis melihatku, sayup terdengar seseorang berkata “Kasihan Adi, sewaktu pulang senja dari hutan kemarin, ia jadi sakit. Gila, kata dukun yang mengobatinya, ia kerasukan Jin hutan”.
“iya, bener. Masak daun dibilang uang,” yang lain menimpali.
Dengan histeris aku berteriak “Aku mau sekolaaahhh…..” tak ada yang menghiraukan jeritanku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

aktifity