Halaman

Ads 468x60px

Minggu, 02 Januari 2011

nostalgia

serumpun bambu ditebang satu-satu, hingga yang tersisa hanya runcingan bambu tanpa daun, beribu helai rambut, rontok satu-satu, yg tersisa hanya kepala plontos. polos.

akupun begitu.semangat membara diawal langkah, belum berujung aku telah lelah, padahal telah aku nyatakan iya pada semua. sungguh-sungguh setiap kata kau yakini bahwa benar-benar butuh. tak kuasa katakan tidak, karena tatap yg penuh harap. sebelum berujung. aku telah lelah. lelah tanpa sesal, tentu saja tanpa sesal. karena tak perlu ada sesal. yang ada hanya perbaiki dan lanjutkan.

busur telah berdesing dan panahpun telah melesat. cepat. secepat guyur hujan dari langit hinggap ke bumi yang berjarak ribuan mil. air harus ciumi bumi jika tak ingin kemarau. dan bumi harus menyambut air jika tak mau gersang. sebelum sambut menyambut itu terjadi, ada kaca tipis antara air dan bumi. ada sehelai daun halangi anak panah pada sasaran.

waktu beri rasa malas pada air tuk sentuh bumi, waktu beri geser anak panah tuk tepatkan tancapnya.

waktu itu, ketika gerimis basahi kerudungku, dan tanganku berada dalam gandengan GAS, aku menangis tanpa alasan, terisak. hujan membaur dengan bola-bola keristal yang kelua dari mataku, membawanya menusuri pipi dan jatuh di ujung daguku, meresap pada kerudung putih yg menutupi jantungku, meresap pada jantungku yang berdetak kencang.

aku katakan pada gas waktu itu, . " aku tak bisa menahan air mata ini. panas mataku, panas jantungku, panas ini hasilkan air dari mataku". aku biarkan kau pererat genggaman mu, gas.

dan sekarang aku tahu, kenapa aku begitu ingin menangis 3 tahun yg lalu...dan aku yakin kaupun pasti tau sekarang.

waktu itu, waktu ini. sama. tapi, bukan kamu yang di sampingku gas. bukan kamu.
Reade more >>

lagi sebel

'''''
berisik, mengusik .....................................................................

intip-intip, diri .....................................................................

kicaumu ganggu hati ...................................................................

ih..............................
Reade more >>

Gadis La Tulip

Diana menghilang dari pandanganku seiring dengan terbenamnya mata dunia di ufuk barat, aku menghela nafas panjang, mencoba mengingat dan membayangkan kisah hidupnya yang baru saja ia ceritakan padaku, sungguh tak kusangka ada ketakutan dan kecemasan yang amat sangat dibalik senyumnya yang terus merekah dalam kesehariannya. betapa tidak, wajah yang ayu tanpa cela itu menyimpan derita yang tak terperikan, dibalik keseksian tubuhnya yang membuat mata pria-pria lemah iman terperdaya, tersimpan jenis kelamin yang bertolak belakang dengan penampilannya. dia seorang WARIA. seorang waria yang dibalik kesempurnaan penampilannya tetap saja ia mempunyai kekurangan yang tak terbantahkan.
tak ada yang menginginkan penipuan terhadap diri sendiri, tak ada yang menginginkan kehidupan dengan menjalankan perandi luar kodrat. sungguh sangat menyedihkan. pelajaran itulah yang aku dapatkan darinya. aku tak ingin membayangkan jika akulah yang mempunyai peran seperti itu..***
Diana, aku mengenalnya dipagi minggu yang basah...
Gereja terlihat sepi, sepertinya aku kepagian berada di rumah Tuhan ini, atau karena gerimis yang sedari subuh tadi yang mengawali minggu ini yang membuat jamaah kristiani enggan melangkahkan kaki untuk memuja-Nya. dengan malas aku duduk di bangku paling belakang. koran yang sempat kubeli dari anak dipinggir jalan tadi ternyata sangat berguna menemaniku menunggu berkumpulnya para jamaah, padahal niat awa aku membeli koran hanya karena kasihan, melihat anak kecil yang kumuh terbebani dengan koran bawaan yang menutupi sebagian badan kurusnya yang mungil. selang bbeberapap menit harum parfum La Tulip reflek membuat kepalaku berpaling pada sosok yang tiba-tiba telah duduk didepanku, hanya kepalanya yang terlihat olehku, dengan rambut bergelombang sebahu yang terurai dan terawat menandakan dia adalah sosok wanita yang sangat menjaga penampilannya. naluri kelelakianku memaksa aku beranjak dan tanpa sadar telah berada di sampingnya.
"permisi.." sapaan pertamaku,
"silahkan..." senyum manis menyertai gerakan tangannya yang menandakan aku boleh duduk di sampingnya, satu-satunya tempat yang masih kosong, ternyata gereja telah penuh. sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, suara bapa pendeta telah mendahuluiku untuk berkhotbah didepan gadis manis itu.
kepalaku terasa pusing, aku lelah menoleh kekanan dan kekiri dibalik hiruk pikuk manusia yang bergerak serentak menuju pintu gereja, mencari sosok penebar La Tulip yang telah mencuri perhatianku, menimbulkan rasa penasaran yang sangat untuk mengetahui identitas dan kepribadiannya. ah, aku kehilangan jejak. cepat sekali gadis itu menghilang, aku bahkan belum tahu namanya. keewa dan marah karena kakiku terinjak seorang ibu-ibu di halaman gereja membuatku segera meninggalkan tempat itu.***
minggu ini masih basah, sama seperti sama seperti minggu kemarin. Aku berdebar, apakah perjumpaanku dengan gadis La tulip itupun akan sama???semoga, aku berdoa penuh harap pada yesus yang tersalib didepan sana. tak ada koran yang menemani kepagianku kali ini, aku menyesal karena lupa membelinya. tapi penyesalanku tak berlangsung lama, karan harum La Tulip tiba-tiba menyergap hidungku. benar saja,gadis manis yang kutunggu telah berada di sampingku. Thanks God, doaku terkabul.
"permisi..." sapanya,
"silahkan.." jawaban dan gerakan yang sama yang ia berikan padaku minggu lalu kuragakan padanya.
"masih ingat saya???" aku menoleh padanya. keningnya sedikit mengerut, tak lama kemudian tawa kecil keluar dari bibirnya yang pink.
"ya..."
"dani". ku ulurkan tangan sebagai awal perkenalan.
"diana". jabatan tanganya erat dan hangat. aku menyodorkan kartu nama, berharap diana melakukan hal yang sama. tapi aku keliru, dia hanya menerima seraya mengucapkan terimakasih. dengan berani aku bertanya
"kapan kita berjumpa lagi? tentunya bukan disini..."
kapan anda mau.." lagi-lagi aku berdebar dengan jawabannya yang diluar dugaanku.***
sabtu yang cerah, aku memakai baju biru duduk di taman kota dengan koran di tangan, menanti gadis La Tulip yang bersedia mengisi waktu luangku. tak sabar rasanya bercengkrama dengan gadis cantik.
tanpa menolehpun aku sudah tahu siapa yang barusaja duduk disampingku, "apa aku terlambat??" sapanya.
"untuk seorang yang dipuja, tak ada kata terlambat..." aku menjabat tangannya.
"apa pekerjaan anda?" aku tersenyum mendengar pertanyaannya. wanita dimana-mana sama saja, selalu mengutamakan pekerjaan pasangannya.
"sebagai manajer di perusahaan yang cukup terkenal di kota ini, oya panggil saja saya dani".
"oh, baiklah", raut wajah gadis itu datar, tanpa ekspresi.
selanjutnya kami beralih ke cafe disebrang taman, dua cangkir kopi menemani percakapan kami yang mulai akrab. sekali dia tersipu saat aku mengelap ujung bibirnya dengan tissue karena kopi yang ia minum menodai bibirnya. setelah itu, setiap sabtu adalah jadwalku bersama diana.***
seperi minggu kemarin, minggu kali inipun tetap basah, baru saja aku membuka pintu berniat menuju gereja, Diana dengan tubuh kuyup menabrakku, ku balas pelukannya, tubuhnya terguncang oleh isak yang tak dapat dibendungnya. tanpa kata, kua ajak dia masuk ke ruang tamuku, untuk menenangkan dirinya, ku sodorkan secangkir air putih hangat dan handuk kering. tak masalah pakaiannya membasahi sofa yang baru ku beli minggu lalu dan masih terlihat sangat baru.
setelah isaknya reda, kuberanikan diri bertanya,
"ada apa diana?"
maafan aku dani, aku mengganggumu sepagi ini mengganggumu...". mata sembab gadis itu tidak mampu mengurangi kecantikan parasnya, ku tunggu kalimat sekanjutnya yang akan keluar dari bibir tipis gadis itu.
"sebenarnya aku ingin jujur padamu...aku..."
"katakan saja diana, tak perlu sungkan..." tak sabar aku dengan apa yang akan ia katakan.
"aku mencintaimu!" dia menatapku tanpa, apalagi malu. seperti gadis kebanyakn, setelah ia menyatakan isi hatinya ia akan menunduk sedalam-dalamnya dengan wajah bersemu. merah. tapi diana beda. aku semakin kagum padanya.
"jangan kau jawab dani, aku tak ingin kau kecewa." aku tak mengerti apa maksud pernyataannya.
"tidak diana, aku tak akan kecewa, karena.." ciana menutup mulutku dengan tangannya.
"aku terlahir dari seorang ibu yang pasrah kepada suaminya, seorang ibu yang pasrah kepada suaminya, seorang ibu yang menurut apapun yang dikehendaki suaminya, seorang ibu yang tak mempunyai pendirian dalam hidupnya." aku belum mengerti kemana arah pebicaraan diana.
"ayahku seorang gay, menikah hanya untuk menutupi aibnya. ibuku yang muak dengan kelakuan ayah dan takut jika suatu hari nanti kasih sayang ayah padaku berubah menjadi kasih sayang seorang kekasih kepada pacarnya mendandaniku seperti layaknya wanita. aku sadar, tujuan ibuku adalah untuk melindungiku dari ayah, tapi..." bahu diana kembali terguncang, dia berusaha membendung air mata yang telah berada di ujung matanya. aku tak tahu harus berbuat apa.
"tapi...tapi akibatnya aku tak mampu menjadi laki-laki sejati..." diana menatapku dengan air mata berurai. tak tega, aku memeluknya. menenangkannya.
"maafkan aku dani, aku tak jujur padamu dari awal pertemuan perkenalan kita...aku..aku.." diana tak mampu meneruskan kata-katanya, ku genggam erat tangannya, tak rela dengan kenyataan yang ada bahwa aku tak bisa bersatu denan gadis yang kucintai dan yang mencintaiku.***
minggu yang cerah, gereja masih juga terlihat sepi, padahal telah satu jam aku duduk di kursi paling belakang, sebuah koran deng topik utama "waria meraja lela" di gengamanku.

teruntuk: selamat berbahagia Nursidah cs nasrullah,
best friend...I miss U.
Reade more >>

MITOS

Aku menelusuri hutan, berusaha mencari kera menyusui bayinya yang masih merah, masih ku ingat lekat kata pak Parto, sesepuh desaku yang telah berumur 100 tahun, katanya, “Siapa yang bisa melihat induk kera menyusui anaknya yang masih merah, ia akan menjadi kaya-raya,” kata-kata itulah yang selalu tengiang-ngiang di kepalaku dan memaksaku melangkahkan kaki menuju hutan yang terletak diujung desa tempat tinggalku. Berusaha mencari kera itu dan berusaha menjadi kaya dengan cepat. Tapi, sudah 6 jam aku menelusuri hutan, belum juga ku temukan apa yang ku cari. Ah, aku tidak boleh putus asa, bukankah aku harus membantu Ayah dan Ibu, lagi pula aku harus melanjutkan sekolah? Jadi, aku harus menemukan kera itu. Ingat dengan cita-cita ku, aku tak jadi pulang dan terus menyusuri hutan.
Aku berusaha terus berajalan di tempat yang lembab dan gelap ini, tak mengalihkan pandnaganku dari atas pohon, berharap sesuatu yang menggelantung dapat mempersingkat pencarianku. Sesekali aku tersandung, dan lenganku perih akibat tergores ranting dan duri. Entah karena lelah atau gelisah, aku melihat sesuatu bergerak di depanku, hewan berbelang kuning dan hitam, wajanya seperti kucing, tapi barang kali sepuluh kali lebih besar dari loreng, kucing peliharaanku di rumah. Ia menggeram, aku menggigil, sorot matanya tajam seperti senter, memutar lehernya ke kanan dan ke kiri, tiba-tiba tatapannya tajam mengarah tepat pada mataku. Gigiku saling beradu, ia menggeram lagi, aku mundur perlahan tapi mataku terus mengawasinya, hewan itu maju kearahku seirama dengan langkah kakiku yang mundur satu-satu. Duk, kaki tersandung, tubuhku menyatu dengan bumi, hewan itu tak peduli, terus maju mendekat. Aku menahan nafas, kepala hewan itu telah mencium wajahku, kemudian leher, perut dan kakiku. Ia menggeram sebentar. Lalu dengan langkah teratur ia pergi meninggalkanku yang bersimbah keringat. Aku menarik nafas sepanjang yang ku mampu, udara memenuhi paru-paru dan perlahan menenangkan jantungku yang berpacu mendahului irama detik. Beribu syukur ku panjatkan dengan kepergian mahluk belang tadi. Hewan berekor panjang yang bergelantungan di pohon-pohon menatapku dengan iba, tapi tak satupun kulihat di antara mereka yang sedang menyusui bayi merahnya. Aku bangkit dari bumi, binatang belang membuat nyaliku hilang, aku pulang dengan ketakutan dan kekecewaan, gagal menjadi kaya.
***
Sudah jam 19.30, segera ku menuju rumah pak Parto, benar seperti dugaanku pak Parto telah dikerubungi anak-anak seumurku untuk mendengar ceritanya. Aku segera bergabung dengan mereka.
“baiklah anak-anak,..” pak Narto memulai ceritanya. Kursi goyang yang didudukinya berderit-derit.
“pada tahun 1940an, seorang pemuda berjalan menyusuri hutan. Ia percaya pada sebuah mitos” lagi-lagi pak Parto berbicara masalah mitos dan lagi-lagi aku begitu tertarik dengan cerita tentang mitos.
“pemuda itu berusaha melihat kaki ular…., ternyata ular punya kaki…! Nah, anak-anak, kenapa pemuda itu ingin melihat kaki ular?” pak Parto bertanya untuk melihat sejauh mana kami tertarik dengan ceritanya, beberapa anak mengacungkan jari telunjuknya, termasuk aku, berebut ingin menjawab. Pak Parto tersnyum senang, karena sepertinya ceritanya menarik dan diminati. Tapi pak Parto, tak perlu mendengar jawaban kami, ia melanjutkan ceritanya
“Dulu sebelum menjadi pengembara, pemuda itu pernah melamar seorang putri bangsawan yang kaya raya, namun karena pemuda itu miskin dan papa, ia ditolak mentah-mentah, namun melihat tekad pemuda itu, ayahanda putri angsawan tersebut memberikan kelongaran dengan syarat yang mustahil dipenuhi oleh pemuda miskin tadi, dalam waktu satu bulan, pemuda itu harus mampu membuat rumah mewah dan mempunyai banyak emas…” pak Parto menarik nafas, ia terlalu bersemangat dengan ceritanya, sehingga tak memikirkan lagi nafas tua nya yang tidak teratur dan berat.
“anak-anak, pada hari itu juga pemuda tersebut mengembara dan sebelumnya berjanji bahwa ia akan memenuhi persyaratan tersebut dalam waktu satu bulan.” Pak Parto ngos-ngosan.
“apa yang tejadi selanjutnya??” pak Parto menatap kami, hening sejenak menyelimuti.
“sebulan kemudian, pemuda pengembara itu datang untuk melamar putri bangsawan dengan segala persyaratan yang telah ditentukan”. Pak Parto mengakhiri cerita, bergegas masuk ke dalam rumahnya. Dan kami? Kami anak-anak yang berusia 11 tahun pulang dengan khayalan masing-masing. Aku bertekad akan mencari ular dan melihat kakinya. Kali ini aku pasti menemukannya. Kejadian saat bertemu belang di hutan kemarin tak berbekas lagi diingatanku.***
“Aku kaya…!!!” aku berteriak sekeras-kerasnya, ku bagi-bagikan uang yang kupunya pada ayah, ibu dan teman-temanku. Aku akan sekolah. Aku ingin menjadi pilot, aku ingin keliling dunia. Aku beritahu impianku ini pada ayah dan ibu, teman-teman dan bahkan pada seluruh penghuni desaku, termasuk termasuk tikus yang menggerogoti lumbung padiku dan cacing-cacing yang yang hidup di dalam tanah. Sungguh aku sulit menggambarkan rasa bahagiaku saat ini. Kurasakan mataku berbinar, semua yang iri melihat keberhasilanku. Sebentar lagi semua keinginan ku akan menjadi nyata.
Tapi, mengapa orang-orang menolak uangku? Mereka memandang iba diriku. Tidak tahukah dia betapa aku bahagia?memberi dengan ikhlas? Tanpa pamrih, aku tidak sedang mencalonkan diri menjadi kades atau bupati, jadi aku tidak sedang kampanye, aku masih kecil, aku juga tidak bercita-cita menjadi kades, bupati, gubernut atau presiden, aku tidak ingin dipilih karena hartaku melimpah. Lagian, aku ingin menjadi pilot. Jadi, aku benar-benar member dengan ikhlas. Ya ampiun, apa-apan ini, kenapa sekarnag aku diikat di tiang tengah rumahku, kemarin memang aku marah pada sekolah yang tidak mau menerima ku sebagai siswanya, mereka katakan uang yang ku berikan untuk daftar sekolah adalah daun, aku lalu mengamuk dan dan memecahkan beberapa kaca jendela sekolah, dan sekarang aku diikat dengan erat, aku tak mampu berbuat apa-apa.
“Ayah… Ibu… tolong lepaskan aku”, rengekku dengan melas. “aku sudah kaya, aku mau sekolah…aku janji tidak akan pecahkan jendela sekolah…” aku meronta.
“aku janji akan belajar dengan sungguh-sungguh”.
Ibu ku malah menangis melihatku, sayup terdengar seseorang berkata “Kasihan Adi, sewaktu pulang senja dari hutan kemarin, ia jadi sakit. Gila, kata dukun yang mengobatinya, ia kerasukan Jin hutan”.
“iya, bener. Masak daun dibilang uang,” yang lain menimpali.
Dengan histeris aku berteriak “Aku mau sekolaaahhh…..” tak ada yang menghiraukan jeritanku
Reade more >>

Seddimi parellaukku

HANYA SATU PINTA

Semua orang boleh bermimpi. Menjadi apa saja, termasuk menjadi putri Cinderella, atau putri Salju seperti di buku dongeng, bahkan menjadi paman Gober yang super kaya seperti di majalah Donal. Aku pun boleh bermimpi. Dan mimpi adalah jalan satu-satunya untuk mewujudkan keinginanku. Yea, dengan cara apalagi aku harus mewujudkannya? Sementara aku terlahir dari keluraga yang sangat sederhana, sedari kecil aku terlalu takut meminta sesuatu pada Ayah dan Ibu. Takut jika Ayah dan Ibu merogoh sakunya hanya karena mainan yang tidak penting. Lulus dari SMA, aku adalah remaja pengangguran tanpa mampu berbuat apa-apa. Jadi, jalan satu-satunya untuk mewujudkan beraneka ragam hasratku adalah dengan menyulam mimpi. Mimpi-mimpi indah aku ciptakan sendiri untuk mewujudkan keinginan-keinganan ku. Lewat mimpi aku bisa menjadi apa saja yang ku mau, lewat mimpi aku mampu berbuat apa saja yang aku suka, lewat mimpi aku berubah menjadi apa yang aku inginkan. Mimpi-mimpi-mimpi. Aku suka mimpi.
“Nong…” julukan akrab dari abang membuyarkan lamunanku. Seketika bayangan kota-kota yang megah dan tentram buyar. Aku menoleh kepadanya dengan wajah masam.
“Nape bang?” Tanya ku. Kaku. Aku selalu kaku jika berhadapan dengan abang tertuaku ini, entah kenapa aku segan padanya, sangat segan malah. Apa karena sedari kecil aku ditinggal abangku merantau ke pulau seberang, 7 tahun di Jawa Timur dengan 2 kali mudik menyebabkan kami jarang sekali bercengkrama. Dan akibatnya, hubungan abang-adik yang seharusnya akrab dan intim menjadi kaku dan bisu. Atau aku takut karena menurutku, abangku satu ini otoriter banget dan sedikit galak. Berbeda dengan abang Gi’, abang ku satu lagi yang bijak dan lembut, dan Abang Gi’ tidak pernah meninggalkanku hingga bertahun-tahun. Ah, entahlah. Aku malas membandingkannya, aku lebih suka menyulam angan-anganku yang tidak mampu aku nyata-kan. Tentu saja aku tidak mampu menyatakannya, mana mungkin ku tega menambah beban pikiran juga akan menguras tenaga Ayah dan Ibu yang telah renta jika aku katakan ingin melanglang buana. Bodoh, Ah! Pikirku.
“Buatin kopi ya, abang haus nih” seperti biasa, sebelum jum’atan, abangku pasti minta secangkir kopi. Tanpa mengiyakan aku segera ke dapur. Mencampur seujung sendok kopi dengan dua sendok gula putih ke dalam cangkir, kemudian menuang air panas dari termos. aku mencontoh kopi buatan Ibu. Tentu saja pas dan nikmat.
“Sruuuuppp….” dengan senyum tertahan aku melihat Abang menikmati kopi buatanku.
“Nong, mau ke Jawa ga?” pertanyaan abang ku yang dengan tiba-tiba ini membuatku kaget bukan main. Terdiam aku memikirkan pertanyaan tersebut. Antara percaya dan tidak. Apakah pertanyaan itu nyata ataukah hanya sebatas anganku saja seperti yang selama ini kulakukan. Dan jika benar, jawaban apa yang harus ku berikan?.
“Woi, jawab donk, mau apa enggak?”
“Mau dooonk.. .” jawabku sekenanya. Aalah, abangku pasti bercanda, diakan memang sering bercanda dengan tiba-tiba dan tak disangka-sangka, maka dari itu kadang-kadang selain otoriter abang Iya’ juga rada aneh. Bang Gi’ juga bercandanya aneh-aneh, klop deh mereka kalau lagi usil.
“Abang udah Tanya sama Ayah, dan dia setuju, nah, giliranmu izin ma Ibu. Kalo Ibu setuju lusa kita berangkat. Jadi, siap-siap ya lenooong…” abangku menyeruput habis kopinya dan kemudian segera berlalu, dengan bengong aku melihat abangku yang memakai baju koko putih, sarung kotak-kotak dan peci bundar berwarna putih mengayuh sepedanya menuju mesjid.
Azan zuhur berkumandang, aku masih bimbang, serius-enggak-serius-enggak masih bermain-main dikepalaku, masa’ sih abangku becanda pakai bawa-bawa Ayah? Atau masa’ sih abangku benar-benar akan mengajakku jalan-jalan ke Jawa??? Ini lebih aneh lagi. Jadi….. apa yang harus kulakukan??? Teringat pertanyaan terkahir abangku segera aku mencari Ibu di kebun belakang rumah. Barangkali ini akan menenangkanku dan menjawab semua rasa penasaranku.
***
“Bu….” Aku menemukan Ibu sedang memetik tomat yang masih hijau.
“Nandrei ule’. ”1 Ibu menjelaskan sebelum ku tanya. Ibu selalu memakai bahasa daerah jika mngobrol dengan keluarga.
“Bu, em…” aku ragu. Ibu diam saja, menungguku bicara. Aduh, aku harus bilang apa nih.
“Ayah mu setuju,” kata Ibu kemudian, setelah lama aku tidak bersuara. Ternyata Ibu sudah tau apa yang kumau.
“Terus…?” sengaja aku menggantung pertanyaanku tentang apakah Ibu juga setuju, karena aku tau Ibu pasti telah mengerti maksudku.
“Jadi, Ibu juga setuju…. Tapi…”
“Tapi apa Bu…” aku mengejar pernyataan Ibu.
“Tapi apa tidak terlalu jauh?”
“Ah, Ibu… inikan hanya jalan-jalan Bu, pasti ga’ lama-lama, toh bang Iya’ juga kerja, kan. Jadi, gak mungkin lama di Jawa.” Penjelasanku yang panjang, jelas sekali memaksa Ibu untuk setuju dan tida pakai ‘tapi’.
“Ya… elona fuangnge…”2 putus Ibu. Aku tidak percaya Ibu setuju dan terlebih aku belum percaya bahwa aku akan pergi liburan sejauh itu.
***
Dengan meliuk-liukkan seluruh tubuh dan tanganku, aku berusaha menjadi air yang sedang mengalir dari ketinggian, kemudian menuruni bukit dan lembah, menyusuri sungai-sungai menuju muara, sesekali aku membuncah menjadi gelombang yang dahsyat, mematikan setiap benda yang bernyawa, menyeret apa saja yang tak mampu mempertahankan diri. Sebuah selendang biru menyelimutiku, gerakan-gerakanku yang lembut dan sesekali menyentak membuat selendang itu bergoyang layaknya gelombang. Turun-naik aku menggerakkan badan. Menikmati setiap ayunan tangan dan kakiku. Lampu padam. Hingga tepuk tangan yang meriah menyudahi pertunjukan ini.
Kriiing… aku tersadar dari mimpi, mimpi yang selama ini menemani malam-malamku, menjadi pemain teater dari sebuah kampus yang terkenal. Jam weker yang sengaja ku taruh tepat di samping kepalaku menunjukkan angka 03.00, aku bangkit dan menuju sumur. Berwudhu lalu memasrahkan diri pada-Nya. Melebur dan bercengkrama dengan-Nya. Aku tak meminta mimpiku terkabul, Karena aku tak yakin dengan mimpiku sendiri, aku juga tak minta hasrat ku terpenuhi, juga karena aku tak yakin akan menjadi nyata. Aku hanya pinta satu hal yang kurasa itu sangat penting bagiku. Bahwa aku pasti bisa me-nyata-kannya. Bisikku pada tuhan, “Meski aku tak mampu memberi kebanggaan pada orangtuaku seperti saudara-saudaraku yang lain dengan segudang prestasi, beragam penghargaan dan kecerdasan. Paling tidak, Tuhan, aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku dengan perbuatan-perbuatan yang tidak ia senangi. Jadi, tolong bantu aku, Tuhan, bantu aku menjadi anak yang tidak akan mengecewakan orang tuanya…. Hanya itu Tuhan, hanya itu yang ku bisa, hanya itu yang ku pinta, tak lebih. Please Tuhan, kabulin ya…Amin.” Dengan tafakur aku memohon, aku tidak ingin terisak, aku berusaha tidak menangis, karena Ayah paling tidak suka kalau anaknya cengeng dan manja. Namun air mataku mengalir juga membasahi pipi hingga ke daguku. Segera ku usap dengan mukenaku yang telah kusam. Semakin aku menahan tangis, semakin deras air mata ini mengalir. Kutarik nafas sepanjang yang ku bisa, dan menghembuskannya sepelan mungkin, ketenangan perlahan menguasaiku. Aku mengalihkkan diri dengan membaca beberapa ayat-ayat pendek dari al-Qur’an yang kuhafal. Terasa damai sekali. Akupun larut ke dalam firman Allah.
Azan subuh berkumandang, disusul dengan kokokan ayam jantan dikejauhan, terdengar suara-suara langkah berat menuju sumur. Orangtua dan saudara-saudaraku telah bangun rupanya, biasanya mereka menjalankan sholat subuh berjamaah di ruang tengah. Dan jika aku tidak tampak di antara mereka, setelah sholat suara abangku akan menggema dengan menyeru namaku.
Kali ini aku enggan bergabung. Aku tidak ingin terlihat dengan mata sembab. Jadi, aku sholat sendiri dan segera menuju dapur agar abangku tau kalau aku sudah bangun, supaya ia tak perlu berteriak mengganggu ketenangan subuh untuk membangunkanku yang sudah bergerak sejak dini.
Aku menyediakan teh panas se teko penuh, keluargaku biasa mengawali hari dengan secangkir teh hangat sebelum Ayah menuju sawah, sebelum abang-abangku menuju kantor desa atau sekolah tempat mereka bekerja dan sebelum adikku menuju sekolah. Aku yang tak ke sekolah lagi sejak mendapatkan ijazah SMA tahun lalu membantu Ibu di dapur. Kunikmati setiap waktu yang kupunya di rumah ini. Seolah akan pergi jauh dan lama baru kembali. Entah bagaimana melukiskan perasaanku kali ini. Perjalanan panjang menari-nari dibenakku. Air mataku selalu beronta ingin mengalir, bagai air bah yang mendorong bendungan dengan keras namun bendungan itu tetap kuat tak tergoyahkan. Kelak aku akan tau kenapa aku begitu ingin menangis dengan tersedu-sedu.
“Ce’… affangujuno, aja’na mubalikka’,”3 sapaan Ibu di awal pagi ini mengingatkanku pada ajakan abangku kemarin.
“Bentar aja kok, aku Cuma bawa beberapa potong baju, jadi gampanglah.” Jawabku datar. Sedikit memaksa agar aku masih diperbolehkan berada di dapur. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama dengan Ibu, berada di deka Ibu, bercengkrama dan mencicipi maskannya yang baru matang dan lagi panas-panasnya.
“Melokogabokong keroppo’ otti?”4 Tanya Ibu, aku merasa tak enak membayangkan kerepotan yang akan segera terjadi di dapur ini. Ibu ingin membuatkan aku bekal keripik pisang. Tapi menolaknya juga aku tak kuasa karena aku tau jika aku tak membawa bekal dari Ibu, Ibu akan merasa sangat sedih. Aku tak mengiyakan juga tidak menolak. Ibu telah mengupas pisang muda yang akan dibuat keripik.
“Bu, aja’na la, cinampe’ ma’tu…”5 aku berusaha mencegah. Tapi Ibu tetap mengupas pisang.
“Mabela tu perjalananmu… de’ to magaga…”6 jawab Ibu, mengerti perasaanku.
“Assalamu’alaikum….” Suara yang sangat ku kenal dan disusul dengan wajah manis menyebul dari pintu dapur menghentikan obrolanku dengan Ibu.
“Ada apa ni… kayak nya aku datang tepat pada waktunya nih, fuang mau buat kue ya…” Tanya kakak sepupuku yang juga bertetangga denganku. Kami punya jalan belakang jika ingin saling mengunjungi. Jadi, tak heran jika tiba-tiba kakak Uli’ tiba-tiab muncul di dapurku sepagi ini.
“Tudakki’li’… wibburengngi bokong andrimmu, meloi jokka jawa.”7 Suara Ibu serak. Aku menoleh, dan kulihat butiran bening membuat mata Ibu berkaca-kaca.
Kakak Uli’ terpana. Semenit kemudian suara merdunya dengan jenaka kembali mengudara.
“Kuliah ya jeeeng..”
“Gini lho kak, diajak bang Iya’ jalan-jalan, temennya yang anak Bungo itu kecantol gadis jawa, kebetulan bang Iya’ diundang, nah, bang Iya’ ngajak aku ikut, kagak nahan tuk nolak.. hehehe” kakak Uli’ dan aku tertawa, ku lihat Ibu hanya senyum-senyum.
“Okedeh, sini fuang ku bantu goreng ya.” Kakak Uli’ menyiapkan wajan di atas tungku yang telah menyala, aku kagum sama kecekatan dan ketelatenan kakak sepupuku itu, walaupun bobotnya melebihi kapasitas semestinya, tapi gerakannya terlihat ringan dan anaerjik.
“Gak ngantor kak?” tanyaku asal, ini kan hari senin, kok kakak Uli’ ga ke kantor.
“Kakak di utus ke bank hari ini ma bos, maklum, tanggal muda, jadi sekalian ntar aja ke kantor abis dari bank.”
“Gajian nih… jadi, aku dapat persenan dunk…” ledekku. Ngarep. Kali aja dapet. Hehehe.
“Berangkatnya kapan?” Tanya kakak Uli’.
“Ntar jam satuan kak, nunggu bang Iya’ pulang dari kantor.”
“Sempa’ muaga mimbuki’didoro’lawo? tette’siagani je’na?”8 suara Ibu tak lagi serak.
“Nappi tette’ enneng fuang…”9 jawab kakak Uli’.
“Wii kasi’na ndo’, aja’na, murefosi aleta’.”10 Suaraku melas, berusaha mencegah Ibu membuat dodol labu.
“Sempatlah fuang, sedikitkan buatnya…” kakak Uli’ memberi Ibu semangat.
“Aku pulang bentar fuang, manggil Ibuku.” Sepertinya akan seperti pasar saja rumahku nanti. Selang beberapa menit, suara kakak Uli’ memanggil Ibunya terdengar dengan jelas dari rumahku. Maklum, jarak rumahku dengan rumah kakak Uli’ hanya beberapa meter.
Dengan bantuan kakak Uli’ dan Ibunya, tak sampai azan zuhur berkumandang, selesailah sudah bekal perjalananku ke pulau tetangga. Termasuk peralatan pribadiku pun dipersiapkan oleh Ibu. Kakak Uli’ dan Ibunya pamit setelah mendengar seruan muazin di tengah hari.
***
Jarum jam panjang dan pendek telah mengarah ke angka satu. Abangku belum juga tiba, aku duduk dengan gelisah di samping Ibu yang memberi wejangan. Sementara Ayah tampak tenang seperti biasanya seolah tak terjadi apa-apa. Aku selalu berusaha meniru sikap tenang Ayah itu, tapi aku belum bisa, selalu tergopoh dan terburu-buru dalam bertindak.
“akkarututuko, angngengngerakko, abbaca-bacako’, kamponnatu tauwe…”11 mata Ibu bak mutiara nan berkilau oleh air mata. Aku tak ingin terbawa suasana, mencoba menegarkan diri dengan tidak menangis. Toh aku cuma lIburan kok, hIburku.
“iye’ ndo’…?”12 hanya jawaban ‘iya’ yang bisa aku berikan.
“gimana? Sudah siap?” abang Iya’ telah berada di depan pintu. Melihat kami, dan beberapa tas diruangan ini abangku pastinya sudah bisa menebak kalau aku sudah siap. Segera bang Iya’ memasukkan beberapa potong pakaiannya ke dalam ransel. Selanjutnya, setelah mencium tangan kedua orangtuaku. Aku dan bang Iya’ segera menuju bis mini yang telah dicegat oleh bang gi’ beberapa menit yang lalu.
***
Blitz dari beberapa kamera menerpa wajahku, silau memang, tapi aku tak bisa mengelak, ada abang Iya’ di sampingku, juga beberapa orang lainnya yang tidak ku kenal, ditengah-tengah kami ada sepasang kekasih berbaju adat jawa. Resepsi pernikahan mas sholihin, sahabat abangku di pulau jawa ini berjalan dengan meriah. Menjalang magrib, para tamu satu-persatu pulang dan akhirnya hanya tinggal kerabat dan tetangga yang berada di lokasi resepsi. Karena aku dan bang Iya’ datang bersama keluarga mempelai dari laki-laki, jadi kamipun ikut bergabung dengan keluarga mempelai laki-laki.
Aku sudah bosan dengan pesta ini, sendirian tanpa mengenal siapapun dan tanpa mengerti bahasa siapapun. Aku tak mungkin marah dengan bang Iya’ yang meninggalkanku di antara orang-orang asing karena dia sedang bernostalgia dengan teman-teman kUli’ahnya yang sudah 2 tahun tidak berjumpa.
***
Telah 2 hari aku disini, dirumah keluarga yang tidak kukenal dan bahasa mereka yang tidak kumengerti. Terkadang aku kelaparan, makanan yang manis tak terbiasa dengan lidahku. Tak sekalipun abang Iya’ mengajakku jalan-jalan. LIburan macam apa ini. Tak seperti yang kuharapkan. Hari ke dua ini kulalui dengan resah.
Pagi ke tiga ini aku bangun agak telat, setelah sarapan, bersama mbak mimi si pengantin baru menikmati pagi di jalan raya. Akhirnya aku bisa jalan-jalan juga meskipun sekedar lari pagi. Setelah berkeringat dan lelah mulai merambah kesekujur kakiku, kamipun pulang.
Kutemukan bang Iya’ dan mas sholihin sedang mengobrol diruang tamu. Aku segera bergabung dengan mereka.
“jeck,” panggilan akrab abangku di sini. “adekmu daftarin di surabaya aja ya.” Lanjut mas sholihin mengagetkanku. Reflek aku menatap lekat abangku. Mencari jawaban dari matanya.
“okelah, terserah kamu aja, aku tidak bisa lama disini.” Jawaban abangku seperti mengalirkan listrik bertegangan tinggi ke aliran darahku.
“yang bener bang? Aku kUli’ah di sini?” aku menyela obrolan mereka.
“ya, kamu mau kan?” abangku balik nanya. Spontan aku mengagguk.
***
“Pementasan selanjutnya dari teater SUA-IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul ‘Badai’, selamaat menyaksikan!!!”.
Dengan meliuk-liukkan seluruh tubuh dan tanganku, aku berusaha menjadi air yang sedang mengalir dari ketinggian, kemudian menuruni bukit dan lembah, menyusuri sungai menuju muara, sesekali aku membuncah menjadi gelombang yang dahsyat, mematikan setiap benda yang bernyawa, menyeret apa saja yang tak mampu mempertahankan diri. Menyatukan pohon, rumah, gedung dan apa saja yang kusentuh kepada bumi. Kaya-miskin, tua-muda, tinggi-rendah, pengangguran-konglomerat. Tak ada yang tersisa, semua rata. Sebuah selendang biru menyelimutiku, gerakan-gerakanku yang lembut dan sesekali menyentak membuat selendang itu bergoyang layaknya gelombang. Turun-naik aku menggerakkan badan. Menikmati setiap ayunan tangan dan kakiku. Lampu padam. Hingga tepuk tangan yang meriah menyudahi pertunjukan teaterku.
Kali ini aku tidak bangun ditengah malam karena aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Tepuk tangan yang gemuruh benar-benar meyakinkanku bahwa ini Sungguh-sungguh nyata. Aku dan teman-teman teater SUA telah sukses memberikan pertunjukan yang mengesankan. Ucapan selamat dan salam kusambut dengan senang. Jabatan tangan mereka sekali lagi membuktikan ini adalah nyata.
***
Aku masih bermimpi tentang apapun yang kumau. Masih sering terburu-buru dengan apa yang aku kerjakan, masih mencoba setenang Ayahku, juga membuat kopi seenak buatan Ibuku. Akupun masih berdoa dengan satu pinta, bahwa Allah akan membantuku agar aku tidak mengecewakan orangtuaku. Amin.
Keterangan:
1 “dimakan ulat”
2 “ya, terserah Allah saja”
3 Ce’ : panggilan sayang Ibu dengan bahasa daerah. “siap-siap sana, gak usah bantu Ibu”
4 “mau Ibu bekalin keripik pisang?”
5 “bu, ga usah aja, akukan Cuma sebentar”
6 “ntar kamu perjalanan jauh, gak apa-apa kok”
7 “Duduk Li’, lagi buatin adikmu bekal, dia mau main ke jawa”
8 “sempat tidak buat dodol labu? Oya, memangnya sekarang jam berapa?”
9 “Baru jam enam bu…”
10 “Aduh bu, tidak usah sajalah, ngerepotin diri saja”
11 “hati-hati, selalu ingat Allah, banyak zikir, itu daerah orang lho”
12 “Iya bu”
Reade more >>

aktifity