Halaman

Ads 468x60px

Minggu, 02 Januari 2011

Gadis La Tulip

Diana menghilang dari pandanganku seiring dengan terbenamnya mata dunia di ufuk barat, aku menghela nafas panjang, mencoba mengingat dan membayangkan kisah hidupnya yang baru saja ia ceritakan padaku, sungguh tak kusangka ada ketakutan dan kecemasan yang amat sangat dibalik senyumnya yang terus merekah dalam kesehariannya. betapa tidak, wajah yang ayu tanpa cela itu menyimpan derita yang tak terperikan, dibalik keseksian tubuhnya yang membuat mata pria-pria lemah iman terperdaya, tersimpan jenis kelamin yang bertolak belakang dengan penampilannya. dia seorang WARIA. seorang waria yang dibalik kesempurnaan penampilannya tetap saja ia mempunyai kekurangan yang tak terbantahkan.
tak ada yang menginginkan penipuan terhadap diri sendiri, tak ada yang menginginkan kehidupan dengan menjalankan perandi luar kodrat. sungguh sangat menyedihkan. pelajaran itulah yang aku dapatkan darinya. aku tak ingin membayangkan jika akulah yang mempunyai peran seperti itu..***
Diana, aku mengenalnya dipagi minggu yang basah...
Gereja terlihat sepi, sepertinya aku kepagian berada di rumah Tuhan ini, atau karena gerimis yang sedari subuh tadi yang mengawali minggu ini yang membuat jamaah kristiani enggan melangkahkan kaki untuk memuja-Nya. dengan malas aku duduk di bangku paling belakang. koran yang sempat kubeli dari anak dipinggir jalan tadi ternyata sangat berguna menemaniku menunggu berkumpulnya para jamaah, padahal niat awa aku membeli koran hanya karena kasihan, melihat anak kecil yang kumuh terbebani dengan koran bawaan yang menutupi sebagian badan kurusnya yang mungil. selang bbeberapap menit harum parfum La Tulip reflek membuat kepalaku berpaling pada sosok yang tiba-tiba telah duduk didepanku, hanya kepalanya yang terlihat olehku, dengan rambut bergelombang sebahu yang terurai dan terawat menandakan dia adalah sosok wanita yang sangat menjaga penampilannya. naluri kelelakianku memaksa aku beranjak dan tanpa sadar telah berada di sampingnya.
"permisi.." sapaan pertamaku,
"silahkan..." senyum manis menyertai gerakan tangannya yang menandakan aku boleh duduk di sampingnya, satu-satunya tempat yang masih kosong, ternyata gereja telah penuh. sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, suara bapa pendeta telah mendahuluiku untuk berkhotbah didepan gadis manis itu.
kepalaku terasa pusing, aku lelah menoleh kekanan dan kekiri dibalik hiruk pikuk manusia yang bergerak serentak menuju pintu gereja, mencari sosok penebar La Tulip yang telah mencuri perhatianku, menimbulkan rasa penasaran yang sangat untuk mengetahui identitas dan kepribadiannya. ah, aku kehilangan jejak. cepat sekali gadis itu menghilang, aku bahkan belum tahu namanya. keewa dan marah karena kakiku terinjak seorang ibu-ibu di halaman gereja membuatku segera meninggalkan tempat itu.***
minggu ini masih basah, sama seperti sama seperti minggu kemarin. Aku berdebar, apakah perjumpaanku dengan gadis La tulip itupun akan sama???semoga, aku berdoa penuh harap pada yesus yang tersalib didepan sana. tak ada koran yang menemani kepagianku kali ini, aku menyesal karena lupa membelinya. tapi penyesalanku tak berlangsung lama, karan harum La Tulip tiba-tiba menyergap hidungku. benar saja,gadis manis yang kutunggu telah berada di sampingku. Thanks God, doaku terkabul.
"permisi..." sapanya,
"silahkan.." jawaban dan gerakan yang sama yang ia berikan padaku minggu lalu kuragakan padanya.
"masih ingat saya???" aku menoleh padanya. keningnya sedikit mengerut, tak lama kemudian tawa kecil keluar dari bibirnya yang pink.
"ya..."
"dani". ku ulurkan tangan sebagai awal perkenalan.
"diana". jabatan tanganya erat dan hangat. aku menyodorkan kartu nama, berharap diana melakukan hal yang sama. tapi aku keliru, dia hanya menerima seraya mengucapkan terimakasih. dengan berani aku bertanya
"kapan kita berjumpa lagi? tentunya bukan disini..."
kapan anda mau.." lagi-lagi aku berdebar dengan jawabannya yang diluar dugaanku.***
sabtu yang cerah, aku memakai baju biru duduk di taman kota dengan koran di tangan, menanti gadis La Tulip yang bersedia mengisi waktu luangku. tak sabar rasanya bercengkrama dengan gadis cantik.
tanpa menolehpun aku sudah tahu siapa yang barusaja duduk disampingku, "apa aku terlambat??" sapanya.
"untuk seorang yang dipuja, tak ada kata terlambat..." aku menjabat tangannya.
"apa pekerjaan anda?" aku tersenyum mendengar pertanyaannya. wanita dimana-mana sama saja, selalu mengutamakan pekerjaan pasangannya.
"sebagai manajer di perusahaan yang cukup terkenal di kota ini, oya panggil saja saya dani".
"oh, baiklah", raut wajah gadis itu datar, tanpa ekspresi.
selanjutnya kami beralih ke cafe disebrang taman, dua cangkir kopi menemani percakapan kami yang mulai akrab. sekali dia tersipu saat aku mengelap ujung bibirnya dengan tissue karena kopi yang ia minum menodai bibirnya. setelah itu, setiap sabtu adalah jadwalku bersama diana.***
seperi minggu kemarin, minggu kali inipun tetap basah, baru saja aku membuka pintu berniat menuju gereja, Diana dengan tubuh kuyup menabrakku, ku balas pelukannya, tubuhnya terguncang oleh isak yang tak dapat dibendungnya. tanpa kata, kua ajak dia masuk ke ruang tamuku, untuk menenangkan dirinya, ku sodorkan secangkir air putih hangat dan handuk kering. tak masalah pakaiannya membasahi sofa yang baru ku beli minggu lalu dan masih terlihat sangat baru.
setelah isaknya reda, kuberanikan diri bertanya,
"ada apa diana?"
maafan aku dani, aku mengganggumu sepagi ini mengganggumu...". mata sembab gadis itu tidak mampu mengurangi kecantikan parasnya, ku tunggu kalimat sekanjutnya yang akan keluar dari bibir tipis gadis itu.
"sebenarnya aku ingin jujur padamu...aku..."
"katakan saja diana, tak perlu sungkan..." tak sabar aku dengan apa yang akan ia katakan.
"aku mencintaimu!" dia menatapku tanpa, apalagi malu. seperti gadis kebanyakn, setelah ia menyatakan isi hatinya ia akan menunduk sedalam-dalamnya dengan wajah bersemu. merah. tapi diana beda. aku semakin kagum padanya.
"jangan kau jawab dani, aku tak ingin kau kecewa." aku tak mengerti apa maksud pernyataannya.
"tidak diana, aku tak akan kecewa, karena.." ciana menutup mulutku dengan tangannya.
"aku terlahir dari seorang ibu yang pasrah kepada suaminya, seorang ibu yang pasrah kepada suaminya, seorang ibu yang menurut apapun yang dikehendaki suaminya, seorang ibu yang tak mempunyai pendirian dalam hidupnya." aku belum mengerti kemana arah pebicaraan diana.
"ayahku seorang gay, menikah hanya untuk menutupi aibnya. ibuku yang muak dengan kelakuan ayah dan takut jika suatu hari nanti kasih sayang ayah padaku berubah menjadi kasih sayang seorang kekasih kepada pacarnya mendandaniku seperti layaknya wanita. aku sadar, tujuan ibuku adalah untuk melindungiku dari ayah, tapi..." bahu diana kembali terguncang, dia berusaha membendung air mata yang telah berada di ujung matanya. aku tak tahu harus berbuat apa.
"tapi...tapi akibatnya aku tak mampu menjadi laki-laki sejati..." diana menatapku dengan air mata berurai. tak tega, aku memeluknya. menenangkannya.
"maafkan aku dani, aku tak jujur padamu dari awal pertemuan perkenalan kita...aku..aku.." diana tak mampu meneruskan kata-katanya, ku genggam erat tangannya, tak rela dengan kenyataan yang ada bahwa aku tak bisa bersatu denan gadis yang kucintai dan yang mencintaiku.***
minggu yang cerah, gereja masih juga terlihat sepi, padahal telah satu jam aku duduk di kursi paling belakang, sebuah koran deng topik utama "waria meraja lela" di gengamanku.

teruntuk: selamat berbahagia Nursidah cs nasrullah,
best friend...I miss U.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

aktifity