serumpun bambu ditebang satu-satu, hingga yang tersisa hanya runcingan bambu tanpa daun, beribu helai rambut, rontok satu-satu, yg tersisa hanya kepala plontos. polos.
akupun begitu.semangat membara diawal langkah, belum berujung aku telah lelah, padahal telah aku nyatakan iya pada semua. sungguh-sungguh setiap kata kau yakini bahwa benar-benar butuh. tak kuasa katakan tidak, karena tatap yg penuh harap. sebelum berujung. aku telah lelah. lelah tanpa sesal, tentu saja tanpa sesal. karena tak perlu ada sesal. yang ada hanya perbaiki dan lanjutkan.
busur telah berdesing dan panahpun telah melesat. cepat. secepat guyur hujan dari langit hinggap ke bumi yang berjarak ribuan mil. air harus ciumi bumi jika tak ingin kemarau. dan bumi harus menyambut air jika tak mau gersang. sebelum sambut menyambut itu terjadi, ada kaca tipis antara air dan bumi. ada sehelai daun halangi anak panah pada sasaran.
waktu beri rasa malas pada air tuk sentuh bumi, waktu beri geser anak panah tuk tepatkan tancapnya.
waktu itu, ketika gerimis basahi kerudungku, dan tanganku berada dalam gandengan GAS, aku menangis tanpa alasan, terisak. hujan membaur dengan bola-bola keristal yang kelua dari mataku, membawanya menusuri pipi dan jatuh di ujung daguku, meresap pada kerudung putih yg menutupi jantungku, meresap pada jantungku yang berdetak kencang.
aku katakan pada gas waktu itu, . " aku tak bisa menahan air mata ini. panas mataku, panas jantungku, panas ini hasilkan air dari mataku". aku biarkan kau pererat genggaman mu, gas.
dan sekarang aku tahu, kenapa aku begitu ingin menangis 3 tahun yg lalu...dan aku yakin kaupun pasti tau sekarang.
waktu itu, waktu ini. sama. tapi, bukan kamu yang di sampingku gas. bukan kamu.
Minggu, 02 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar